Mengenai Saya

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

pendidikan istimewa

Pendidikan untuk Anak Cerdas Istimewa

SIAPA menyangka Thomas A. Edison, seorang siswa yang dikeluarkan dari sekolah lantaran diklaim sebagai anak nakal dan tak bisa diatur, akhirnya menjadi penemu lampu pijar.

Di bawah kolong rumahnya, Edison membuat laboratorium sendiri dan melakukan percobaan. Percobaannya itu berbuah lampu pijar yang kita nikmati hari ini. Edison adalah potret anak didik yang memiliki bakat dan kecerdasan istimewa, namun tidak mendapat tempat di sekolahnya.
Pada awal abad ke-18, kalangan pendidik di dunia mulai mengenal konsep diffusion of education (perbedaan dalam pelayanan pendidikan) yang dikenalkan Thomas Jefferson.
Konsep ini menggariskan bahwa layanan pendidikan harus diberikan secara berbeda sesuai bakat dan kecerdasan yang dimiliki setiap orang.
Ada anak yang masuk level sebagai anak berbakat dan cerdas istimewa. Untuk mengenalnya dapat dilakukan dengan pendekatan multifaktor.
Di Indonesia, konsep yang digunakan merujuk kepada konsepsi keberbakatan menurut Renzuli (1981) yang dikenal dengan sebutan the three ring conception, yaitu inteligensi, kreativitas, dan pengikatan diri terhadap tugas dalam mencapai produktivitas.
Dari aspek IQ (intelligence quetiont), merujuk ke skala Wechsler, anak berbakat dan cerdas istimewa adalah mereka yang berada dalam tiga tingkatan, yaitu: keberbakatan ringan (IQ=115-129), keberbakatan sedang (IQ=130-144), dan keberbakatan tinggi (IQ-145 ke atas).
Guna mengikuti program akselerasi (percepatan belajar) IQ yang disyaratkan minimal 125 dengan kreativitas dan tanggung jawab terhadap tugas tergolong baik.
Di samping IQ, dari ciri-ciri belajar mereka mudah menangkap pelajaran, mudah mengingat kembali pelajaran yang telah diajarkan, punya kosa kata yang banyak sehingga mampu mengungkapkan pikiran dan gagasannya secara lisan dan tulisan dengan lancar, penalaran tajam, gemar membaca, daya konsentrasi baik, rasa ingin tahu tinggi, dan tertarik melakukan penelitian.
Dari sisi kreativitas, mereka memiliki ciri-ciri antara lain: menonjol dalam satu atau lebih mata pelajaran, mempunyai daya imajinasi, mempunyai rasa humor dan menghasilkan beragam gagasan.
Tentang tanggung jawab terhadap tugas, mereka adalah peserta didik yang tekun, ulet, mandiri, semangat dan rajin dalam belajar, dan mau menunda pemuasan kebutuhan sesaat demi mewujudkan tujuan di kemudian hari (seperti membatasi waktu bermain karena ingin berprestasi tinggi).
Satu hal lagi, meskipun mereka masih duduk di bang ku SLTP/SLTA, namun menunjukkan minat pada isu-isu terkini dan berbagai masalah yang diperbincangkan orang dewasa, seperti masalah agama, politik, sosial, budaya dan sebagainya.
Sebenarnya ciri-ciri anak berbakat dan cerdas istimewa tersebut tidak banyak berbeda dengan anak-anak biasa. Faktor pembedanya hanya karena ciri-ciri tersebut lebih tinggi intensitas dan derajatnya mereka.
Banyak tantangan yang dihadapi dalam merealisasikan pelayanan pendidikan khusus untuk peserta didik kategori anak cerdas istimewa. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara.
Tantangan itu berwujud dalam bentuk perlakuan guru, cara pandang orang tua, dan kebijakan pemerintah sendiri terhadap mereka. Guru cenderung memberikan perhatian pada peserta didik yang tergolong masih lamban belajar.
Sementara anak-anak yang memiliki keberbakatan dan kecerdasan istimewa dianggap tidak memerlukan bantuan dari guru. Cara pandang orangtua juga masih dibayang-bayangi mitos yang mengakar di masyarakat bahwa keberbakatan dan kecerdasan istimewa yang dimiliki anak-anak tersebut merupakan perbatasan yang halus antara gila dan genius.
Di sekolah, terkadang mereka dianggap sebagai anak didik yang cilun (nyeleneh). Mitos ini membuat orangtua ada yang menyembunyikan keberbakatan anaknya.
Dari sisi kebijakan pemerintah, ternyata bantuan pelayanan pendidikan khusus lebih diprioritaskan untuk peserta didik yang berada dalam kelompok di bawah normal dibanding mereka yang di atas normal
Perhatian pemerintah terhadap layanan pendidikan bagi anak berbakat dan cerdas istimewa punya pasang surut tersendiri. Pada 1974, pemerintah baru sebatas memberikan beasiswa bagi peserta didik yang mempunyai potensi kecerdasan dan bakat istimewa mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Lalu, pada tahun pelajaran 1983/1984, pemerintah mem buka sekolah rintisan yang dikenal dengan nama sekolah perintisan anak berbakat.
Bentuk program yang dipilih dalam proyek ini adalah program pull out pada waktu-waktu tertentu dengan cara memberikan pengayaan (enrichment) pada beberapa bidang studi. Namun, sekolah perintisan anak berbakat ini hanya berjalan hingga tahun 1985/1986 walaupun lulusan SMUnya ada yang berhasil meneruskan pendidikan ke sejumlah universitas di Belanda.
Kemudian, pemerintah membentuk kelompok kerja pengembangan anak berbakat (KKPAB) yang melibatkan unsur ahli dan pejabat terkait. Sayang sekali, kelompok kerja yang dibentuk untuk memikirkan konsep pengembangan anak berbakat di Indonesia itu akhirnya juga kandas di tengah jalan tanpa sebab.
Tahun pelajaran 1998/1999, beberapa sekolah swasta berinisiatif merintis program akselerasi (percepatan belajar). Akhirnya, pada tahun pelajaran 2000/2001 pemerintah mencanangkan secara nasional uji coba Program Percepatan Belajar tersebut untuk seluruh jenjang pendidikan SD, SLTP dan SMU.
Seluruh kebijakan pemerintah saat ini yang berkenaan dengan perlakuan bagi peserta didik yang memiliki potensi dan bakat istimewa seyogyanya dikoreksi sejalan dengan berbagai perubahan dalam dunia pendidikan. Sebab, perlakuan yang tidak tepat adalah ancaman terhadap perkembangan potensi mereka.
Pada 1997 dilakukan penelitian terhadap 20 SMA Unggulan pada 16 provinsi di Indonesia yang menyimpulkan, program pelayanan terhadap anak cerdas tersebut ternyata tidak cukup memberikan dampak positif pada peserta didik berbakat untuk mengembangkan potensi intelektual yang tinggi.
Diantara faktor penyebabnya adalah merujuk kepada data yang menunjukkan 25,3 persen peserta didik SMA Unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata dan hanya 9,7 persen yang digolongkan anak memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Kondisi ini sangat memprihatinkan karena dengan kemampuan intelektual terbatas, peserta didik seperti dipaksa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran yang menuntut kerja intelektual tinggi.
Dari aspek kurikulum, anak-anak berbakat dan cerdas istimewa membutuhkan diferensiasi (keragaman) kurikulum dalam bentuk penugasan dan kegiatan belajar yang berbeda dari rata-rata peserta didik seusianya berdasarkan kebutuhan belajarnya.
Davis G.A., dan Rim S.B. (1998) dalam Teaching: The Gifted and Talented Children mengusulkan diferensiasi kurikulum dapat diwujudkan melalui tiga jalur: enrichment (pengayaan).
Yaitu, pengayaan belajar yang memungkinkan perluasan materi, extension (pendalaman), melakukan investigasi bidang studi lebih mendalam, dan acceleration (percepatan), yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan menyelesaikan materi belajar dalam waktu singkat.
Corak pembelajaran juga harus beralih dari kegiatan pembelajaran untuk peserta didik reguler (biasa) ke pola kegiatan pembelajaran yang memerlukan corak berfikir tingkat tinggi. Pemilihan materi yang bertumpu pada buku paket sudah saatnya ditinggalkan agar guru memberikan menu yang sesuai dengan mereka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar